Rabu, 23 Desember 2009

Muhasabah,Haruskah Akhir Tahun

Kebiasaan muhasabah (introspeksi diri) yang dilakukan oleh orang-orang seiring dengan bergantinya tahun merupakan 'budaya' yang rutin dikerjakan. Bahkan diantaranya ada yang beranggapan, hanya di akhir tahun waktu yang cocok untuk memuhasabah diri seseorang. Di sisi lain ada juga orang-orang yang menyepelekan muhasabah ini, sehingga tidak punya keinginan untuk memperbaiki dirinya.
Menyepelekan introspeksi diri dalam segala hal, dapat menyebabkan kehancuran pada diri seseorang. Mengapa demikian? Pertama, karena orang seperti itu banyak mengikuti hawa nafsunya sehingga tertipu dengan kenikmatan dunia. Kedua, biasanya mereka menyandarkan diri kepada ampunan Allah سبحانه وتعلى saja, sehingga tidak lagi peduli untuk mengintrospeksi dirinya sendiri. Lalu bagaimana pandangan Islam yang benar dalam mengintrospeksi diri?
Pentingnya Bermuhasabah
Muhasabah berasal dari bahasa Arab yang artinya menghisab atau menghitung. Dalam penggunaan katanya, muhasabah diidentikkan dengan menilai diri sendiri. Dalam melakukan muhasabah, seorang Muslim menilai dirinya, apakah dirinya lebih banyak berbuat baik (beribadah) ataukah malah lebih banyak berbuat jahat (bermaksiat) dalam kehidupan sehari-hari. Dia mesti objektif melakukan penilaian, dengan menjadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai landasan utama untuk melakukan penilaian, bukan berdasar keinginan hawa nafsunya.

Idealnya seorang muslim melakukan muhasabah tiap hari. Menjelang tidur, kita mengevaluasi diri kita, apakah kita hari ini sudah melakukan banyak kebajikan atau kejahatan? Seberapa banyak kejahatan yang kita lakukan? Seberapa banyak kebaikan yang kita perbuat? Dan bukan sebagaimana anggapan orang pada saat ini yang mengatakan bahwa waktu yang paling tepat untuk mengintrospeksi perbuatan yang telah kita kerjakan hanya di akhir tahun atau pada saat adanya bencana. Taruhlah jika anggapan itu benar, maka bagaimana nasib orang yang ketika hidupnya belum sempat mendapatkan “akhir tahun”? Wallahul Musta’an.

Abdul Aziz bin Abi Rawwad menyatakan bahwa manusia ada 3 golongan:
1. Golongan beruntung, jika hari ini lebih baik dari hari kemarin. Maksudnya, amal perbuatannya hari ini lebih baik dari hari kemarin.

2. Golongan merugi, jika hari ini sama dengan hari kemarin. Dengan demikian, amal perbuatannya hari ini sama dengan hari kemarin.

3. Golongan celaka, jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin. Ini berarti, amal perbuatannya hari ini lebih sedikit atau dosa yang diperbuatnya lebih banyak dari hari kemarin.

Maka dimanakah kita diantara ketiga golongan tersebut?
Metode yang bagus untuk mengatasi kekuasaan nafsu ammarah atas hati seorang mukmin adalah dengan selalu mengintrospeksi dirinya. Hal itu pun telah banyak disebutkan oleh para ulama, di antaranya Hasan al-Bashri—rahimahullah—berkata, “Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia mengintrospeksi dirinya sendiri karena Allah. Sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan ringan bagi mereka yang telah mengadakannya di dunia. Sebaliknya hisab akan berat bagi kaum yang menempuh urusan ini tanpa pernah berintrospeksi."

Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhud dan at-Tirmidziy dalam Sunannya meriwayatkan secara mauquf dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata,

“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab! Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang! Sesungguhnya berinstropeksi bagi kalian pada hari ini lebih ringan dari pada hisab kemudian hari.”

Begitu juga dengan hari ‘aradh (diperlihatkanya amalan seseorang) yang agung. Allah سبحانه وتعلى berfirman (artinya),

"Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh… . (QS. Ali Imran: 30).

Jadi benarlah adanya, bagi setiap orang yang beriman kepada Allah سبحانه وتعلى dan hari akhir untuk tidak melupakan introspeksi kepada dirinya, kerena dari situ seseorang bisa mengetahui kinerjanya dalam beramal shaleh dan bermaksiat.

Muhasabah Sebelum Beramal dan Sesudah Beramal
Sebelum kita berbuat (beramal), sebagai orang yang mempunyai akal, tentunya kita berpikir bahwa untuk memulai suatu pekerjaan bagusnya bagi setiap orang itu menanyakan kepada dirinya terlebih dahulu. Untuk apa sebenarnya dia melakukan amalan tersebut? Dan untuk siapa dia melakukannya? Karena begitu banyak orang yang tergesa-gesa melakukakan suatu pekerjaan tanpa memikirkan mudharat dan maslahatnya, sehingga ketika telah melakukan pekerjaan tersebut barulah dia menyesali perbuatannya. Ada kaedah yang menyebutkan:

مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ

Barang siapa yang tergesa-gesa untuk memperoleh sesuatu sebelum waktunya, maka dia dihukum dengan tidak mendapatkan hal tersebut.

Muhasabah sebelum beramal, juga berkaitan dengan apa yang telah disebutkan oleh Imam al-Bukhari dalam Kitab Shahihnya yaitu bab Al 'Ilmu Qablal Qauli wal 'Amal (berilmu sebelum berkata-kata dan beramal). Oleh karena itu, seyogyanya setiap orang mengetahui ilmunya terlebih dahulu kemudian beramal dengannya. Apatah lagi itu perkara agama, maka wajib hukumnya bagi setiap kaum Muslimin untuk mengetahuinya.

Jadi muhasabah sebelum beramal adalah hendaknya setiap orang berhenti sejenak dan merenungkan di saat pertama munculnya keinginan untuk melakukan sesuatu, tidak bersegera kepadanya sampai benar-benar jelas baginya bahwa melakukannya lebih baik dari pada meninggalkanya. Hasan al-Bashri—rahimahullah—berkata, "Seorang hamba berpikir di saat pertama ia ingin melakuan sesuatu. Jika itu karena Allah, ia lanjutkan. Dan jika bukan karena-Nya, ia menangguhkannya."

Dan perkataan Hasan al-Bashri ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata yang baik atau diam.".

Imam An-Nawawi memaknai hadits di atas dengan maksud, “Jika seseorang ingin berbicara dan pembicaraannya adalah sesuatu yang baik, benar, berpahala, baik wajib maupun sunnah, maka silahkan ia bicara. Tetapi jika belum jelas baginya bahwa pembicaraan itu baik dan berpahala, maka hendaknya ia diam, baik itu pembicaraan yang haram, makruh, atau pun mubah.”

Imam As-Syafi’i juga memahami makna hadits di atas, "Jika seseorang ingin berbicara hendaknya ia merenungkannya. Bila jelas tidak ada mudharatnya, berbicaralah ia. Namun sebaliknya, bila jelas baginya mudharat hendaknya ia tidak berbicara."

Sebagian ulama salaf lainnya juga menjelaskan perkataan Hasan al-Bashri di atas, yaitu ketika seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu amalan, pertama-tama ia harus merenung, apakah amalan itu mampu ia kerjakan atau tidak? Jika tidak ada kemampuan untuk itu, hendaknya ia berhenti. Tetapi jika ia mampu, hendaknya ia berpikir ulang, apakah melakukannya lebih baik dari pada meninggalkannya, ataukah sebaliknya? Jika yang ada adalah kemungkinan yang kedua, maka ia mesti meninggalkannya. Akan tetapi jika yang pertama, hendaknya ia bertanya, apakah faktor pendorongnya adalah untuk mendapatkan wajah Allah سبحانه وتعلى dan pahala-Nya, ataukah untuk mendapatkan kehormatan, pujian dan harta benda semata?

Maksud dari semua itu, hendaknya setiap orang yang ingin melakukan suatu pekerjaan memuhasabah dirinya terlebih dahulu sebelum mengamalkannya agar pelakunya tidak sia-sia mengerjakan perbuatan tersebut.

Hidup di Dunia Hanya Sementara
Firman Allah سبحانه وتعلى (artinya),

"Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)." (QS. Al-Anbiyaa': 1).

Alangkah beruntungnya siapa pun yang saat ini semakin tersentakkan kesadarannya bahwa satu hal yang paling mahal dalam hidup ini ialah ketika mengetahui kehidupan di dunia hanya sementara. Ya, hidup ini hanya satu kali.

Adapun ujung dari perjalanan hidup ini hanyalah salah satu: "Surga atau neraka". Tidak ada yang lain. Orang tua, istri, anak-anak, dan siapa pun orang-orang yang kita cintai, pun akan menghuni salah satu dari dua: Surga atau neraka.

Surga hanya diberikan oleh Allah سبحانه وتعلى kepada orang-orang yang ketika hidup di dunia benar-benar menjaga dirinya dengan baik. Dia amat menjaga apa pun yang Allah inginkan. Dia amat memelihara apa pun yang Allah perintahkan. Ini membuat Allah سبحانه وتعلى senang kepada orang tersebut. Sehingga ketika hidup di dunia hatinya selalu dibahagiakan. Kebutuhannya dicukupi. Kesulitannya dimudahkan. Bahkan Allah سبحانه وتعلى akan mendatangkan rezki untuknya dari arah yang tidak disangka-sangka.

Allah سبحانه وتعلى pun membelanya setiap kali orang itu membutuhkan pembelaan. Dia pun mengangkat derajat kemuliaannya, sehingga tidak dapat diruntuhkan oleh siapa pun jua. Allah akan membuat dunia ini bertekuk lutut kepadanya dan menghamba meladeninya.Bila saat ajalnya tiba, maka Allah akan mencabut nyawa orang yang taat penuh dengan keindahan dan kelezatan husnul khatimah. Ketika jasadnya dimasukkan ke lubang kubur, maka kubur itu akan menyambutnya bagaikan seorang ibu yang amat merindukan anaknya yang telah lama tak bersua. Kubur akan mendekapnya penuh dengan kehangatan dan kemesraan. Tidak ada siksa kubur baginya. Tidak ada padang mahsyar yang menyakitkan. Tidak pula siksa neraka jahannam. Semua itu diberikan khusus kepada siapa pun yang ketika hidup yang singkat di dunia ini, ia menjaganya dengan sebaik-baiknya.

Akan tetapi, Allah pun menyediakan neraka jahannam, yang nyalanya berkobar-kobar. Kalau manusia berdiri di atas bara api dunia, maka api itu hanya akan membakar telapak kaki. Lain lagi api neraka. Bila seorang manusia berdiri di atas bara api neraka, atau bahkan hanya mengenakan sandal penghuni neraka, maka telapak kaki yang menempel itu akan membuat kepalanya mendidih.

Neraka disediakan bagi orang-orang yang tidak menyadari kedudukan mereka di hadapan Allah, bahwa dirinya itu adalah ciptaan Allah سبحانه وتعلى, milik Allah dan pasti kembali kepada Allah سبحانه وتعلى.
Wallohul Haadi Ilaa Sawaa-is Sabiil
-Abdul Rasyid Yusuf el Makassary_

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

AL-WALAA’ WAL BARAA’ , SEBUAH KEHARUSAN

(Menyikapi Hari Raya Non Muslim)


Bulan Desember dan dua bulan sesudahnya adalah bulan yang di dalamnya banyak terdapat beberapa hari raya orang kafir. Hari Natal, tahun baru masehi, Imlek, dan Valentine day. Konyolnya, kaum muslimin yang mayoritas di negeri ini, ikut latah meramaikannya, bergembira dengan hari-hari tsb, bahkan tidak sedikit yang ikut merayakannya. wallahul musta’an.


Fenomena ikut-ikutan ini adalah salah satu bukti betapa minimnya pengetahuan kaum Muslimin terhadap agamanya. Sebab andai mereka tahu kemuliaan Din ini mereka pasti berlepas diri dari semua itu. Andai mereka tahu bahwa konsekuensi kalimat laailaaha illallah adalah tidak ikut latah menyemarakkan hari raya kekufuran, maka pasti mereka tidak terjerumus di dalamnya, pada hal Allah telah memberi kita dua hari raya yang jauh lebih mulia. Pembaca yang budiman…pada edisi kali ini al-Balagh akan mengangkat tema al-walaa’ dan al-baraa’ yang merupakan kandungan kalimat tauhid laailaaha illallah. Selamat menyimak…

Pengertian Dan Kedudukan al-Walaa’ dan al-Baraa’
Walaa’ adalah masdar dari kata kerja “walaya” yang artinya dekat. Dan yang dimaksud dengan wala’ di sini adalah dekat kepada kaum muslimin dengan mencintai, membantu dan menolong mereka dalam menghadapi musuh-musuhnya serta bertempat tinggal dengan mereka. Sedangkan al-baraa’ adalah masdar dari baraa’ah yang berarti memutus atau memotong. Maksudnya adalah memutus hubungan dengan musuh atau memutus ikatan hati dengan orang kafir.

Di antara kandungan kalimat Tauhid adalah mencintai orang yang telah mengucapkan kalimat itu, serta memutuskan hubungan dengan orang-orang yang menyalahiNya. Allah ta’al berfirman: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah,RasulNya dan orang-orang beriman, yang mendirikan shalat, menunaikan zakat seraya tunduk kepada Allah. Dan siapa yang mengambil Allah, rasuNya, dan orang-orang beriman menjadi penolongnya, maka pengikut agama Allah itulah yang akan menang” (Qs.al-Maaidah:55-56)

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas-radhiyyallahu’anhuma-: “Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi walaa karena Allah dan memusuhi karena Allah. Maka sesungguhnya kewalian dapat diperoleh dengan itu. Dan seorang hamba tidak akan merasakan lezatnya iman sekalipun banyak shalat dan berpuasa sampai ia melakukan hal tersebut. Dan telah menjadi umum bahwa persaudaraan manusia berdasarkan kepentinga duniawi yang demikian itu tidak bermanfaat sedikitpun bagi para pelakunya” (HR.Thabrani dalam al-Kabir)

Hukum Menyambut dan Merayakan Hari Raya Orang Kafir
Sesungguhnya di antara konsekuensi terpenting dari dari al-baraa’ adalah menjauhi syi’ar-syi’ar ibadah mereka, sedang syiar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka kaum muslimin berkewajiban menjauhinya dan meninggalkannya. Demikian juga, dilarang menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan atau hari sekolah, masak-masak dalam rangka merayakannya. Termasuk di dalamnya menggunakan kalender masehi. Dengan demikian dianjurkan kaum muslimin untuk menggunakan penanggalan hijriyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “tidak halal bagi kaum muslimin bertasyabbuh dengan mereka dalam hal yang khusus bagi hari raya mereka seperti makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan hari kerja dan yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri, memberi hadiah, menjual barang guna yang diperlukan untuk hari raya. Tidak halal mengizinkan anak-anak melakukan permainan hari itu. Ringkasnya tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas hari raya mereka”

Demikian juga kita dilarang mengucapkan selamat (tahni’ah) atau ucapan belasungkawa (ta’ziyah), sebab itu berarti memberi walaa’ dan mahabbah (kecintaan) kepada mereka.

Al-Imam Ibnul Qayyim berkata: “…jika bertahni’ah dengan syi’ar-syi’ar kufur yang khusus menjadi milik mereka seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan,”selamat hari natal” atau “berbahagialah pada hari ini raya ini” atau yang senada dengan itu, maka kalaupun ia selamat dari kekufuran, ia tidak bisa lepas dari kemaksiatan dan keharaman. Sebab itu sama saja dengan memberi ucapan selamat atas sikap mereka yang menyembah salib”. Selanjutnya beliau mengatakan, “maka barangsiapa yang memberi ucapan selamat kepada seseorang yang melakukan bid’ah, maksiat atau kekufuran maka ia telah memantik murka Allah…”

Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa memberi ucapan selamat, bergembira dengan hari raya orang kafir dilarang karena yang demikian menunjukkan kerelaan kepada agama mereka.

Allah Ta’ala berfirman tentang sikap Nabi Ibrahim-alaihissalam-:”Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian (yaitu pada) Ibrahim dan orang-orng besertanya; ketika mereka berkata kepada kaumnya: sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa-apa yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah nampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah” (QS.al-Mumtahanah: 4)
Wallahu Ta’alaa A’laa Wa A’lam (Al Fikrah)
Sumber: Kitab Tauhid, Dr. Shalih Fauzan al-Fauzan (dengan disertai sedikit perubahan)

Selasa, 22 Desember 2009

salam

alhamdulillah blog ini sudah jadi
blogg yang didalamnya penuh dengan kreatifitas anak bangsa, mencerdaskan putra - putri negara, membina akhlak, moralitas menjadi pejuang yang tangguh dan memiliki visi yang jelas kedepan, memiliki cita - cita yang jelas dan penuh semangat dalam menjalani realitas hidup
semua aktivitas diarahkan kepada orientasi pembinaan karakter, moral melalui Tarbiyah dan Kontinyu dan model - model pembinaan lainnya yang sesuai dengan petunjuk ulama salafus shaleh.